Search...>>

12.15.2011

Patroli Perbatasan Indo-Malaysia (Part 3)

Pagi itu saya terbangun karena sakit perut, alam sepertinya sudah tidak sabar meminta haknya untuk dikembalikan, dan segeralah saya bergegas mencari tempat yang terlindung dipinggiran sungai, sambil merenung lalu membersihkan diri. 
Dari seberang sungai tiba-tiba terdengar suara gaduh binatang, awalnya saya pikir biawak atau babi hutan, akan tetapi binatang tersebut memliki warna putih dilehernya dengan moncong seperti musang, sepertinya jenis lingsang atau berang-berang bersama anak-anaknya yang berjumlah empat ekor, kelihatannya sang induk sedang mengajari anak-anaknya menangkap ikan disungai. Saya pun beranjak dari bilik perenungan lalu bergegas mengambil kamera untuk mencoba mengabadikan momen langka tersebut, ternyata gerak-gerik saya tercium oleh linsang tersebut lalu mereka menghilang masuk kedalam hutan, saat itu saya tidak berhasil, mungkin lain kali. 
Karena penasaran, sayapun menunggu di tempat yang agak terlindung, menanti satwa tersebut kembali kepinggiran sungai. Dan benar saja, kurang dari setengah jam binatang tersebut muncul ditempat yang sama, saya langsung ambil kamera dan jepret beberapa kali, saya mencoba mendekat supaya bisa dapat foto yang lebih jelas namun mamalia air tersebut langsung kabur kembali kehutan.
Karena waktu terus berlalu dan perjalanan keperbatasan masih harus dilanjutkan, saya pun kembali ke kamp dan cuma bisa berharap hasil jepretan tadi memuaskan.  Ternyata saya belum beruntung, hasilnya kurang jelas dan kurang fokus, terlalu jauh dan gelap, cuma berharap moment tersebut terulang kembali nantinya.
 
 
Linsang/Berang-berang, dengan nama latin Lutra sp. Jenis ini beberapa kali ditemukan di Sungai Iwan, berdasarkan hasil survey Biodiversity yang dilakukan WWF pada tahun 2000. Masuk dalam kategori Vulnerable oleh IUCN dan belum merupakan salah satu satwa yang dilindungi. Masyarakat lokal menganggap satwa tersebut adalah hama karena sering memangsa ikan air tawar.

Setelah sarapan pagi dan berkemas-kemas, perjalanan dilanjutkan melalui jalan darat, hanya dua orang motoris yang ditinggal untuk menjaga perahu dan peralatan lain yang tidak dibawa. Perjalanan hanya dipandu dengan GPS, peta kawasan dan kompas karena daerah ini jarang dilewati manusia kecuali para pencari gaharu. Dengan dipandu orang lokal dari Data Dian yang pernah mencari gaharu di tempat ini, jalan dirintis dengan menggunakan Mandau atau parang  khas Suku Dayak untuk membuka jalan dan menandai pohon yang dilewati sebagai penanda jalan  agar jelas dan bisa diikuti oleh orang berikutnya.
 GPS, Peta dan Kompas, adalah alat yang paling penting dalam navigasi menuju perbatasan, tanpa alat tersebut mustahil akan mencapai daerah target sesuai jadwal yang direncanakan. 

Jarak yang akan ditempuh hanya 8 km (jarak datar) dari pondok kedua kearah barat. Akan tetapi dengan beban  bawaan yang berat dan juga daerah ini didominasi oleh beberapa jenis rotan dan tumbuhan berduri sehingga memperlambat laju perjalanan. Mendaki tebing, menuruni celah bebatuan sampai menyebrang beberapa sungai menambah menariknya perjalanan, walau lelah tetapi semangat tetap terjaga. Dengan panduan GPS, tim menyusuri hulu sungai yang semakin mengecil dan semakin dangkal. Dengan topografi yang relatif landai dengan ketinggian berkisar 700-800 mdpl sehingga mempermudah perjalanan.

 Pak Kas, sang komando yang memimpin perjalanan, diikuti Pak Budi dari Balai TNKM, keduanya bertugas di daerah perbatasan. Pekerjaan seberat sudah biasa dijalani demi mempertahankan keutuhan kawasan TNKM dan kawasan NKRI.

Sepanjang perjalanan banyak ditemukan satwa yang sedang melintas dan juga beberapa sarang babi hutan. Sarang babi hutan sangat mudah dikenali karena hanya berupa gundukan dedaunan dan semak belukar yang dikumpulkan diatas tanah dan biasanya berbau khas. Selain itu  beberapa jenis anggrek hutan yang belum diketahui jenisnya menghiasi pepohonan yang dilewati. 
Anggrek Hutan. Sering ditemukan disepanjang jalan ke perbatasan, biasanya hidup menempel pada pepohonan yang besar yang lembab.

Sampai pada Km-4 dari pondok kedua, agak jauh dari pinggiran sungai, dibawah pohon yang tidak begitu besar dan tertutupi oleh semak, Pak Kas yang paling depan melihat ular yang besar dengan perkiraan panjang lebih dari 4,5 meter sedang menunggu mangsa di jalan yang sepertinya biasa dilewati oleh satwa dan juga mungkin manusia. Setelah diamati lebih dekat dapat dipastikan jenis ular tersebut merupakan jenis Sanca Batik (Phyton Retculatus) yang kelaparan menunggu mangsa yang lewat. 
Sanca Kembang (Phyton reticulatus). Sangat mudah dikenali karena coraknya yang seperti batik. Populasinya melimpah didaerah ini dan belum menjadi satwa yang dilindungi.

 Setelah melihat kehadiran manusia maka perlahan ular tersebut bergerak menjauh menuju anak sungai didepannya yang mengarah ke sungai yang lebih besar.  Sepertinya ular tersebut sudah lama menunggu mangsa ditempat tersebut,  hal ini terlihat dari jejaknya yang agak dalam seperti sudah ditiduri selama beberapa hari.  

 Melihat kehadiraan manusia, ular tersebut bergerak menjauh menuju sungai yang lebih besar

Karena merasa dikejar, ujar tersebut berbalik dan mencoba menyerang balik para pemburu termasuk saya yang sedang mencoba mengabadikannya.

Para motoris dan masyarakat lokal yang melihat ular tersebut sedang bergerak menjauh langsung memburunya, dengan pergumulan yang sangat cepat dan menegangkan antara ular dan para pemburu, sabetan mandau mendarat dikepala ular malang tersebut yang langsung mati ditempat. 
 Malang sekali nasib ular tersebut hari itu, bukan mendapat mangsa malah dimangsa. saat berada di hutan rimba memang hukum itulah yang berlaku, yakni "Hukum Rimba".
Selanjutnya, seperti sudah terbiasa, para pemburu langsung membedah ular tersebut untuk diambil jantung dan empedunya, serta sepotong daging untuk dijadikan lauk.

Jantung dan Empedu, diyakini bisa menambah stamina bagi orang yang memakannya. Anehya setelah beberapa menit sejak jantung dipisahkan dari tubuh ular tersebut, jantung tersebut masih berdenyut seperti masih hidup, benar-benar keajaiban alam.


Saya hanya diam tak berkata, menyayangkan pembantaian itu, sekalipun jenis ular tersebut tidak dilindungi dengan populasi yang melimpah. Akan tetapi dengan alasan kebiasaan, masyarakat yang memburunya untuk diambil empedu dan jantung serta dagingnya. Jantung dan empedu ular tersebut terkenal akan khasiatnya menambah stamina, semetara dagingnya bisa menyembuhkan penyakit kulit. Pengalaman yang menarik buat saya ketahui, perjalananpun dilanjutkan kembali beberapa km kedepan, kemudian tim beristirahat sejenak untuk makan siang dipinggiran sungai. 
Tim beristirahat sejenak untuk makan siang, bekal makan siangpun diambil dari dalam tas, sementara air dipanaskan untuk membuat kopi panas untuk memanaskan tubuh yang basah oleh keringat dan air sungai.

Ular panggang, lauk tambahan bagi para orang lokal, katanya dapat mengobati segala macam penyakit kulit. Untungnya saya tidak memiliki penyakit  kulit jadi saya tidak perlu memakannya.

Ternyata potongan daging ular tersebut mereka bakar sebagai tambahan lauk makan siang. Tapi bagi saya indomie rebus masih lebih menggiurkan dari ular panggang tersebut. Setelah istirahat sejenak dan mengeringkan badan dari keringat, perjalananpun dilanjutkan kembali.


Hari mulai menjelang sore, perjalanan hanya dapat dilanjutkan sejauh 1 km dari tempat istirahat terakhir karena tim mulai kelelahan. Akhirnya setelah dapat  tempat yang cocok untuk mendirikan pondok peristirahatan yang merupakan bekas pondok para pencari gaharu, seluruh tim bahu membahu menyiapkan dan membangun pondok yang baru yang kurang lebih sama dengan podok-pondok sebelumnya.

Sorepun berganti malam, seperti malam sebelumnya, karena kelelahan dan kekenyangan sehabis makan malam, semuanya langsung menempati peraduan masing-masing, beberapa diantaranya bercerita sebagai pengundang rasa kantuk. Gelappun merajai malam itu, semuanya hening, semuanya lelap.

Bersambung...........


 

5 comments:

  1. ngeliat ularnya dibunuh kayak gitu merinding juga kak lubis.. :(

    Btw, seru banget perjalanannya.. jd kangen ke lapang lagi.. hehehe :D

    ReplyDelete
  2. Iya tuh, gila mang orang sana, pemakan segala hehehe, kayu aja yg ga dimakan ma mereka :D

    ReplyDelete
  3. ah,saya pingin merasakan rasanya ular panggang..pasti lezat itu bagi orang yg berjiwa kuliner "liar"

    ReplyDelete
  4. di tempat saya banyak sekali ular ini,,,

    ReplyDelete
  5. Boleh minta no Hp salah satu yang nangkap ularnya gak? Saya mau tanya apa ada jual empedu keringnya? kalau ada saya mau beli banyak. Mohon info segera ya.....

    ReplyDelete